Warna (2)

Bagian 2
Sore itu dikedai kopi hanya ada Surya, Bang Upi, dan satu dua pengunjung. Sesekali Bang Upi mengamati kebiasaan Surya yang berbeda dari sebelumnya, ia tak lagi sering berdistraksi mesra dengan gitar kesayangan ketika kedai sepi. Sekarang Surya malah asyik dengan buku-buku di kedainya.

“Sekarang kau terlihat rajin membaca Sur” suara Bang Upi dari dalam dapur menengok raut Surya yang amat serius dengan buku ditangannya.

Sekilas Surya hanya melihat ke sumber suara dan kembali membaca.

Tiba-tiba Bang Upi menyela dengan pertanyaan yang mengejutkan. “Kau menyukai Hayu?”

Surya yang tadinya asyik dengan buku, sekarang berbalik menatap Bang Upi. Sontak pertanyaan itu membuat Surya kaget, jelas ini bukan basa-basi belaka. Tetapi bagaimana Bang Upi bisa mengetahuinya? fikir Surya.

“Aku sudah mengenal Hayu sejak lama, ia memang sosok wanita yang mudah dikagumi bagi sebagaian orang, aku tak heran kau menyukainya Sur. Ditambah lagi dengan kebiasaanmu yang akhir-akhir ini sering membaca buku-buku sastra, kau sudah tak memiliki celah untuk mengelak pertanyaanku bukan?”

Surya menggaruk kepalanya sembari menyengirkan bibir. Ia berfikir apakah begitu mudah ditebak atau hanya Bang Upi saja yang pandai membaca situasi.
“Apa menurutmu aku baik untuk Hayu?”

“Kalau itu aku tak begitu tau, itu urusanmu dengan Hayu” jawab Bang Upi sambil mendekati Surya dan menepuk bahunya.

Inilah yang membuat hati Surya terus bertanya-tanya. Apakah aku baik untuk untukmu?Pertanyaan itu kerap muncul disela lamunan-lamunannya. Dimata Surya, Hayu adalah sosok perempuan yang memiliki reputasi hebat. Tanpa Hayu melakukan apa-apa pun, orang sekelas Surya semudah itu luluh dan ditarik masuk dalam dunianya.

Pagi harinya Surya pergi ke kedai seperti biasa. Tiga puluh menit pertama ia menyiapkan peralatan dapur. Bang Upi tidak dikedai karena sedang merestokpersediaan kopi.
Tampaknya hujan datang pagi sekali. Satu-persatu pelanggan mulai berdatangan hingga membuat kedai ramai, tiga perempat dari mereka langganan tetap dikedai, tiga perempat lagi pencari wifi gratisan. Sisanya orang baru yang mungkin sedang berteduh menunggu hujan reda. Diluar kedai tampak beberapa orang diteras berdiri berjejer menunggu antrean ojek payung datang menyelamatkan.

Surya pandai memilihkan menu kopi untuk pengunjung baru. Bagaimana tidak, orang tersebut pasti datang kembali dihari berikutnya. Beberapa diantaranya mahasiswa perempuan tanggung, entah datang untuk menikmati kopi atau sekadar melihat barista tampan dan dingin ini.

Rutinitas dikedai berjalan seperti biasanya, hari mulai larut kedai pun mulai sepi. Ketika sudah tidak ada pengunjung yang datang, Surya duduk di kursi dekat rak buku. Menyumat lintingannya. Memandang luar jendela, sesekali menghembuskan asap dengan berat.

Satu bulan berlalu lebih cepat. Surya yang diam-diam menanti kedatangan Hayu dikedai berbuah masam. Tidak ada kabar dari Hayu yang berhasil ia kantongi. Beberapa tujuan kini semakin tidak jelas. Seseorang yang nyata tak nyata sudah memenangkan hatinya.

Surya menjalani setiap hari dengan tenang. Namun bukan berarti bos kedai tidak mengerti. Bang Upi mengerti, teramat mengerti malah. Ia sering menaruh heran pada Surya. Bagaimana tidak, di zaman yang serba canggih ini untuk berkomunikasi, dan banyaknya cara untuk bisa menemui seseorang. Surya tetap memilih cara menunggu, menunggu wanita itu datang ke kedai. Apa mungkin lelaki berbadan tinggi dengan rambut gondrong itu tak memiliki keberanian yang cukup selain menunggu? Untuk wanita seperti Hayu, hal itu sangat mungkin.

Ketika sedang berberes kedai, Bang Upi menghampiri Surya yang sibuk dengan mesin espreso dan pernak-pernik disekitarnya
“Mengapa tidak mencoba menghubunginya Sur?” Celetuk Bang Upi

“Hayu?” Kembali Surya bertanya

Bang Upi terkekeh pelan. Surya terheran dengan kekehnya
“Memangnya siapa lagi menurutmu Sur?”
Surya diam tak menggubris, kembali berkutat dengan benda logam didepannya.

“Selama ini aku mengenal beberapa orang yang menyukai Hayu, bahkan beberapa diantaranya teman dekatku sendiri. Tapi sejauh ini, kau yang paling tenang Sur. Kau tidak agresif. Tidak terburu-buru. Kamu justru menjamahnya dengan masuk langsung dalam dunianya”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku, kau tidak begitu buruk untuk Hayu”

“Brengsek” balas Surya dengan terkekeh menghadap kearah Bang Upi yang tidak memperhatikannya.

Kedua lelaki itu beranjak dari dapur dan duduk ditepian teras kedai. Bang Upi membuka obrolan yang dirasa akan menjadi topik menarik bagi Surya
“Hayu sudah seperti adikku sendiri Sur. Kami berteman sejak masih ingusan. Ia gadis yang luar biasa, bukan dari pencapaiannya melainkan latar belakangnya”
Surya menyimak dengan serius, dianggapnya perkataan dari mulut Bang Upi akan penting untuk direka.
“Saat ini ia hanya tinggal dengan Bapaknya. Kehidupan gadis itu keras dan penuh perjuangan”. “Sekarang semuanya bergantung padamu Sur, lekaslah masuk dikehidupannya”

Surya mengerutkan kening dan bertanya “Apa yang membuatmu berfikir semua ini akan semudah itu?”

“Karena Hayu juga menyukaimu”

Surya terdiam, ia tak percaya sama sekali perkataan Bang Upi baru saja.

Dua bulan setelah percakapan diteras kedai. Surya melai merasa gelisah di setiap malam. Penyebabnya tak lain adalah pernyataan Bang Upi. Bagaimana Hayu bisa menyukainya? Itu pertanyaan kedua yang sesak dikepala lelaki itu. Demi mendapatkan kepastian, Surya memutuskan untuk berkunjung ketempat Hayu.

Setelah mengumpulkan tekad dan keberanian. Hari ini lelaki itu menemui Hayu dirumahnya, berbekal sepotong kertas berisi alamat yang diberikan Bang Upi.
Ketika menginjak pelataran rumah Hayu, Surya menarik nafas dalam-dalam yang menghembuskannya dengan gelisah. Ia begitu pasrah dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan menimpanya.
Pelan. Merapikan pakaiannya. Diketuklah pintu berwarna cokelat dengan ukiran bunga. Tak mendengar jawaban, Surya mengetuk untuk kedua kalinya. Berharap itu ketukan terakhir.
Benar. Hayu keluar dari balik pintu yang diketuknya. Wajah itu, wajah wanita yang setiap hari ia tunggu kedatangannya dikedai, wajah sendu dengan mata kuyu dan rambut yang diikat satu seperti ekor tupai. Wajah yang selama ini memonopili setiap malamnya. Wajah yang terakhir dilihatnya 4 bulan lalu.

“Surya” tegur wanita didepannya

Komentar

Postingan Populer