Warna (1)

Bagian 1

“Tetap jadi dirimu sendiri, berdiri diatas ideologimu, apapun itu bawa dirimu yang sebenarnya. Jangan memaksa menyukai apa yang aku sukai, jangan mendadak melakukan ini itu agar terlihat olehku.

Sebab tak harus satu selera untuk bisa bersama”

Pesan itulah yang terucap dari mulut Hayu seiring dengan hembusan nafas ringan. Surya yang duduk di beranda rumah sembari menghisap lintingan pun mencoba memahami perkataan perempuan disebelahnya.

Dua tahun lalu, tepat di sebuah kedai bernama Srawung, kedai kopi yang berada dikota dingin Wonosobo menjadi tempat pertemuan Hayu dan Surya untuk pertama kalinya. 

“Apa kabar Bang Upi” sapa Hayu kepada barista sekaligus pemilik kedai langganannya 

“Hayu lama tak jumpa, kemana saja?” jawab Bang Upi dengan menjeda pekerjaannya ditengah sibuk meramu kopi 

“Skripsi bang, buru-buru diselesaikan. Umur sudah mepet Drop Out, bapak juga sudak pengen liat Hayu wisuda” jelas Hayu tawa lepas didepan Bang Upi

Sebagai orang yang mengetahui bagaimana hubungan Hayu dengan perkuliahannya, Bang Upi pun ikut tertawa. Hayu, mahasiswa jurusan sastra Indonesia murni yang sedang dalam tahap skripsi ini memiliki pola pikir yang unik. Ia termasuk angkatan tua dikampusnya, hanya tersisa beberapa gelintir orang yang satu angkatan dengan Hayu. Sesuatu yang paling disengaja oleh Hayu adalah memilih topik skripsi dengan tingkat kesulitan diatas rata-rata. Alasannya karena amat mencintai sastra, ia begitu betah dan ingin berlama-lama dengan almamaternya.

“Hayu mau minum apa?” tawaran dari Bang Upi 

“Vietnam drip saja bang, antar meja pojok lantai 2 yang deket stopkontak” 

“Siap”

Sebelum beranjak dari tempat duduknya di depan meja kasir, Hayu mengamati seorang pemuda yang asing didapur saji. 

“Itu barista baru bang?

“Iya Yu, sudah mulai kualahan kalo kedai diurus sendiri”

“Surya” teriak Bang Upi memanggil pemuda itu

Kemudian dengan tenang Surya mendekat kearah kami

“Ada apa?”

“Kenalkan ini Hayu teman sekaligus pelanggan kedai”

Hayu mengangguk dengan senyum tipis, begitu juga dengan Surya.

Minggu berikutnya Hayu pergi menemui dosen pembimbingnya. Setelah berkonsultasi ria dengan pembimbing, Hayu pergi ke kedai untuk merefresh otak. Dalam perjalanan menuju kedai, pikiran Hayu dilintasi oleh bayangan Surya, mengapa Bang Upi merekrut Surya menjadi barista dikedai nya, apa keistimewaan Surya, berbagai pertanyaan tentang Surya memenuhi kepala Hayu. Akankah hari ini pertanyaan itu terjawab, entahlah.

Sesampai dikedai ternyata Hayu tidak melihat Bang Upi. Ia mencoba melihat ke semua sudut kedai tetapi tak didapati pula pemilik kedai ini. 

“Upi sedang pergi ke Aceh” Surya yang sedari tadi mengamati Hayu membuka mulut menjelaskan. Hayu yang kaget pun menoleh kearah suara tersebut dan mendekatinya.

“Ini aku Surya, mau kubuat kan kopi?”

“Vietnam drip Sur, sudah berapa hari Bang Upi pergi?”

“4 hari yang lalu Upi berangkat”

Hayu mengangguk pelan.

“Surya” panggil Hayu 

“Kenapa?”

“Aku taruh buku ya di kedai”

“Buku apa?”

“Ini novel baru Hayu yang terbit bulan ini, didepan juga ada beberapa buku Hayu. Kalau senggang bisa dibaca-baca buat temen ngopi”

“Wahh keren ya Hayu ternyata”

Hayu terkekeh mendengar pujian dari Surya, pujian seperti itu sudah tidak asing ditelinganya.

Dikedai kecil ini terdapat beberapa buku yang disediakan Bang Upi untuk dibaca pengunjung, beberapa diantaranya buku yang ditulis Hayu. 

Dari pertemuan ini ternyata Surya menaruh kagum pada Hayu.

Ketika kedai sudah mulai sepi,  Surya berkemas dan membersihkan peralatan dapur. Sebelum menutup kedai Surya mengingat sesuatu, bergegas ia menghampiri rak buku mencari satu buku tulisan Hayu untuk dibawa pulang. Lewat percakapan singkat antara mereka berdua, tanpa disadari Surya mulai menaruh hati pada Hayu. Perbincangan singkat antara mereka membuat Surya berkesimpulan kalau Hayu gadis yang layak untuk dikagumi.

Dikamar, Surya yang biasanya sibuk dengan gitarnya dan segala genre lagu yang menemaninya, kini berbeda situasinya. Tak seperti biasanya saat ini ia tengah asyik dengan buku yang dibawanya dari kedai. Hayu Wuninggar, nama wanita yang berhasil memenuhi pikiran Surya dengan hanya melalui tulisan. Setelah 8 tahun Surya berjalan sendiri, tak disangka pemuda gagah sekaligus barista handal yang mendewakan musik ini begitu cepat menaruh rasa pada seorang sastrawan dipertemuan keduanya.

Dari perasaan itu, Surya berubah menjadi pembaca yang rajin. Setiap seminggu ia menyelesaikan buku Hayu. Satu bulan Surya sudah membaca semua buku Hayu yang berjumlah 4 buku dengan rata-rata terdiri dari 300 sampai 350 halaman, tema yang beragam tetapi lebih condong pada kebudayaan. Tidak hanya itu, ia mulai membaca buku lain yang banyak direkomendasikan oleh temannya. Ia juga mengikuti bacaan-bacaan best seller akhir-akhir ini. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer