Lesat

Sipon, nama yang terbilang canggung untuk wanita zaman sekarang. Bukan masalah untukku. Ada sekelumit kisah yang tidak segan kuceritakan tentang betapa pengecutnya diriku, mengenai hal-hal yang membuatku jatuh cinta sebelum ia mengenalku.
Wanita itu berparas ayu, ramah, dan begitu pemalu. Ya, semudah itu diriku jatuh cinta pada seseorang.
Hampir setiap pagi aku melihatnya berjalan di trotoar depan bengkel tempatku berkerja untuk mengisi waktu senggang kuliahku.
“Woi Saleh, kerja yang benar!!! Apa yang kau perhatikan hah?”
Lagi-lagi pak camat mengganggu ku ketika sedang serius memperhatikan Sipon menyusuri jalan depan bengkel.
“Hahaha dasar anak muda, kau tak berbeda jauh denganku ketika muda”
“Kemarilah nak, kuberitahu kau satu hal”
Meskipun aku geram dengan ejekan pak camat, aku tak bisa menolak perintahnya. Bergegas aku dekatinya yang sepertinya sudah menyiapkan seribu satu petuah.

“Masam sekali mukamu leh, kau pasti belum sarapan, apa tidak ada yang masak pagi ini dikontrakan?” Pak camat bertanya.
“Tak ada, semua anak buru-buru berangkat kuliah” jawabku malas
“Heh Saleh.. kau sering sekali memperhatikan Sipon, kenapa kau ini? Suka denganya?” Tanya pak camat mengalihkan pembicaraan dengan suara pelan lalu mendekatkan kepalanya ke telingaku.
Tanpa menjawab pertanyaannya, aku kembali meneruskan pekerjaanku. Dasar orang tua, sibuk sekali mengurusi urusan anak muda.

Malam harinya setelah selesai shalat isya aku duduk didepan teras kontrakan sambil membayangkan wajah Sipon. Meskipun tidak berhadapan langsung dengannya, aku paham betul bagaimana keindahan bola matany yang berkilauan, bibirnya yang seperti bulan sabit ketika ia tersenyum, juga hidungnya yang bangir..
“Woiii, ke sambat apa kau malam-malam begini cengar-cengir” suara Ipul mengejutkanku.
“Sedang apa kau Saleh? Kau terlihat sedang kasmaran tingkat akhir” Ipul bertanya lagi dengan nada menggodaku.
“Sembarangan tingkat akhir, kau pikir sekolah?? Pul, kau masuk saja, tak usah mengganggu ku” jawabku sembari mengendus pelan.
Bukanya masuk kedalam, Ipul malah duduk leyeh-leyeh disebelahku.
“Leh, wisudamu 1 bulan lagi?” Basa-basi yang dilontarkan Ipul kepadaku.
Aku mengangguk pelan.
“Setelah wisuda kau langsung kembali ke Sumatera?”
“Iya Pul, kau segeralah menyusul wisuda, ibumu sudah rindu kau disana” aku menghela nafas panjang .
“Tidak terasa sudah mau berpisah saja, dan menempuh jalan masing-masing. Empat tahun sudah kita bersama, semoga kau tak melupakan ku Leh” Tersenyum, lalu Ipul meninggalkanku sendiri di teras.

Benar, sedikit waktuku yang tersisa saat ini. Satu bulan lagi mungkin aku tidak akan bisa melihat Sipon berjalan didepan bengkel membawa beberapa buku sembari menundukkan kepala. Lalu apa yang harus aku lakukan saat ini. Aku hanya menginginkan orang yang kusuka juga mengenalku, itu saja. Bedebah, selalu Sipon yang menculik isi otakku.

Pukul 08.15 aku sudah berada di tempatku berkerja. Pak camat sibuk dengan burungnya. Ramai orang berlalu-lalang didepan bengkel. Mulai dari penjual cenil hingga para buruh berangkat berkerja. Tak lama, Sipon melintas disebarng jalan. Mataku bersiap untuk tak berkedip sedetikpun, ia membuatku mematung berhenti dari pekerjaan hanya untuk memperhatikannya. Sihir apa ini ya Tuhan, dibuat ku tak bergerak sedikitpun kecuali bola mata yang mengikuti arah ia melangkah.
“Setiap hari aku lihat kau memperhatikannya, lekaslah dekati. Sudah pergi baru nanti kau menyesal”
Pak camat terkekeh melihat tingkahku, ia seperti menasihati seorang pecundang sedang jatuh cinta.
Sudah kenyang dengan ejekan pak camat yang selalu mengintai gerak-geriku, akuu kembali meneruskan pekerjaanku.

Satu hari hampir usai, malamnya ketika aku hendak menutup bengkel tiba-tiba saja ada suara bel sepeda berbunyi.
“Kring...”
“Mas,tolong perbaiki rantai sepeda adik saya sekarang bisa?”

Aku yang tengah sibuk berberes terpaksa menolaknya karena jam buka bengkel sudah habis “Maaf mbak, datang lagi besok saja ini sudah mau ditutup”
“Saya minta tolong mas, tidak parah kok kerusakannya mungkin tidak akan lama memperbaikinya”
Rengek wanita tersebut

“Memangnya.....” kalimatku terhenti di tenggorokan ketika aku melihat kearah wanita yang membawa sepeda rusak itu. Sipon. Lagi-lagi tubuh ini terpaku, nafasku segan untuk berhembus, jantungku berdebar dengan kecepatan abnormal.

“Bisa tidak mas?”

“Ohh bisa apanya? Hah mana-mana? Berapa mbak?”
Payah, aku nampak terlihat seperti orang dongo didepannya. Sipon pun mentertawakanku. Bedebah, bodoh sekali diriku ini ya Tuhan.
Mimpi apa semalaman, ini merupakan momen yang amat langka dihidupku, aku tidak akan menyia-nyiakannya seperti yang pak camat katakan.

Sembari memperbaiki sepeda adiknya aku membuka obrolan diantara suara perkakas,
“Namamu Sipon?” Pertanyaan pertamaku
“Orang-orang sepertinya terbiasa memanggilku Sipon”
“Kalau begitu namamu bukan Sipon?”
“Bukan”
“Sungguh? Lalu?”
“Namaku Liani, ketika kecil potongan rambutku selalu berponi. Mungkin karena itu orang-orang memanggilku Sipon” jelasnya padaku.
“Siapa namamu?” Tambah Sipon
“Namaku Saleh, aku perantau disini.”
Rasanya seperti sesuatu yang mustahil bagiku bisa berbincang dengan Sipon. Berkali-kali aku menepuk dahi sekedar memastikan ini bukan mimpi. Satu lagi, ternyata wanita itu bernama Lani. Lani.

Malam ini banyak yang kami obrolkan, dan bengkel ini yang menjadi saksi perkenalan kami. Dari perkenalan itulah aku berani menyapanya ketika ia melewati trotoar depan bengkel, malah terkadang Sipon yang menyapaku lebih dulu.

Cerita ini tidak lebih panjang dari perkenalan kami. Seminggu kemudian aku wisuda, setelah wisuda aku meninggalkan kota ini dan akan kembali ke tanah kelahiranku Sumatera.
Namun sebelum itu, aku berencana untuk mengatakan suatu hal pada Sipon. Tetapi diriku sendiri tidak tahu bagaimana melakukannya, bagaimana mengatur janji denganya, bagaimana aku membicarakannya. Aku ingin melakukan sesuatu namun aku sendiri pun tidak tau apa yang harus dilakukan. Kacau.

Beberapa hari kemudian akhirnya aku diwisuda, hanya keluarga pak camat dan teman-teman kontrakan yang datang mengucapkan selamat. Keluarga di Sumatera tak satupun yang datang karena jarak yang jauh dan biaya transportasinya juga tidak murah.
“Selamat ya Leh” terkekeh pak camat melihatku bangga
“Terimakasih pak”
“Aihh bagaimana? Sudah kau nyatakan perasaanmu pada Sipon? Ah dimana gadis itu, kau tak mengundangnya kemari?” Goda pak camat
“Kami baru saja berkenalan, aku tak berani mengajaknya kemari pak”
“Sudah lama kau menyukainya, tapi mengapa begitu payah. Begini saja, kalau kamu tak ada nyali untuk mengatakan secara langsung lebih baik lewat surat”

Aku menatap pak camat ragu
“Apa isi suratnya?”

“Adooh Soleh, kau tuliskan, kau ungkapkan perasaanmu pada Sipon dalam bentuk tulisan. Bodoh sekali kau ini. Sepertinya universitas ini salah meluluskanmu”

“Lalu bagaimana aku memberikannya?”
“Mau kau kirim lewat pos, kau kirim dengan merpati, biawak, kudanil terserah kau. Pusing aku bicara dengan kau Leh”
Sepertinya pak camat darah tinggi, ia bergegas beranjak dari tempat duduknya meninggalkanku.

Kuputuskan untuk mengikuti saran dari pak camat. Ternyata membuat surat tidaklah mudah. Berkali-kali aku menulis, kemudian ku teliti lagi, dan ku ulang-ulang sebelum akhirnya jadi. Rencana surat ini kuberikan esok pagi sebelum aku berangkat ke bandara, bertepatan ketika Sipon melewati depan bengkel.

Tiba saat yang dinanti-nanti, dengan gelisah aku menunggu Sipon didepan bengkel pak camat. Sesekali melirik jam tangan, mengawasi orang yang melintas di jalan, memastikan tidak ada yang lepas dari pengawasanku. Disamping itu, pikiranku sibuk merapal kata ketika akan berhadapan dengan Sipon.
Tak lama kemudian, wanita yang ku nantikan memunculkan kuncupnya. Nafasku tak beraturan, suhu tubuhku berubah seketika, dan mataku tertuju pada satu arah disebrang sana. Hingga pada saat Sipon tepat didepan ku, tiba-tiba saja lidahku kelu, bagaimana cara menyuruh Sipon berhenti aku tak tau. Aku yang terbujur kaku entah karena gugup, gerogi, takut dan sebagainya akhirnya mulutku tak bisa mengucap sepatah kata pun. Jarak Sipon sudah jauh dari bengkel, aku enggan memanggilnya karena tak siap dengan gemuruh yang muncul ketika tubuh ini menghapapnya. Alhasil surat yang kubuat tak bisa tersampai pada Sipon, perasaanku pun demikian. Perasaan kecewa, sedih, malu,” bercampur menjadi satu,
Setelah ini, aku berpamitan dengan orang yang telah ku anggap sebagai keluarga disini. Habis sudah umurku ditempat ini. Sudah saatnya aku kembali ke kampung halamanku. Karena rasa ketidakberanian ku, aku meninggalkan tempat ini dengan patah. Sudahlah, setidaknya Sipon sudah tahu namaku. Setidaknya orang yang kusukai mengenali nama yang menyukainya.
Jika tidak saat ini, mungkin ada saatnya keberanian itu datang diwaktu yang lebih tepat, tak masalah jika dilain kisah.

Komentar

Postingan Populer